Persalinan Gak Pake Lama

Bersambung dari sini yaaaa.

Disclaimer: Karena aku ingin mengingatnya dengan lekat, proses kelahiran kali ini aku ceritakan dengan mendetail. Ada bagian-bagian yang mungkin agak “horor” buat yang membaca. Jadi harap bersiap-siap. Lalu ceritanya juga akan panjaaaang dan lamaaaa sekali. Jadi harap bersabar membacanya.

Tidak berapa lama setelah itu, kira-kira pukul 6.30 pagi, dan di tengah gelombang kontraksi yang bertubi-tubi datangnya, aku merasakan ada sesuatu yang “pecah” di bagian dalam. Rasanya seperti ada bunyi “PLOP” di perut bagian bawah yang disusul dengan keluarnya air hangat. Wah, sepertinya ketubanku pecah. Aku memberitahu suster Sarah yang kemudian memeriksa air dengan selembar kertas (deteksi asam/basa?) untuk memastikan bahwa itu benar-benar air ketuban bukan sekedar ngompol…he…he. Ternyata benar! “Congratulations, ” kata suster Sarah, “You definitely will be going home with a baby.” Ya karena jika air ketuban sudah pecah, maka mau gak mau bayi harus segera dilahirkan karena perlindungan terhadap kuman dari luar sudah tak ada lagi. Berarti, kalau kontraksiku tidak progresif atau efektif (bukaannya tidak bertambah), alamat aku akan diinduksi. Aku masih berharap mudah-mudahan tidak demikian.

Aku agak kaget juga, meski sudah bisa menduga bahwa memang sekarang lah saatnya. Jadi ini dia, saatnya aku bisa bertemu dengan adek bayi yang selama ini ngulet-ngulet, jungkir balik di dalam perut sampai gerakannya terlihat dengan jelas di permukaan perut. Tapi tidak ada lagi kesempatan untuk mengharu biru, karena deraan kontraksi semakin dekat jaraknya. Suster Sarah pun menyiapkan kursi roda untuk mengantar aku ke ruang persalinan.

Oh ya, ruang bersalin di sini bukan satu ruang yang bisa dipake rame2 oleh beberapa pasien, tapi kamar-kamar individual yang desainnya sama seperti kamar untuk menginap pasien. Jadi ketika masuk ke ruangan itu, secara psikologis gak ada rasa takut, karena kayak masuk kamar tidur saja.

Satu hal yang kurang aku sukai adalah bahwa ternyata dokter kandunganku tidak bisa datang dan mengoper kerjaannya pada rekan dokternya yaitu dokter Bishop. Niatku untuk melahirkan dibantu dokter wanita pupus sudah. Ya sudah, pasrah saja. Mosok mau kabur cari tempat lain yg dokternya cewek? Ya gak mongken. Yang bikin deg-degkan justru adalah bahwa sampai dengan aku disiapkan di kamar besalin, si dokter Bishop ini belum juga nongol. Katanya masih dalam perjalanan. Sekali lagi, aku hanya bisa berserah diri sama skenario Sang Maha Kuasa deh. Aku konsentrasi saja ke ngatur nafas dan menahan rasa sakit.

Di ruang bersalin aku ditanya apakah mau jalan2. Bukan jalan2 tamasya lho ya (hi..hi), tapi jalan bolak-balik sekitar ruangan untuk membantu mempercepat persalinan. Sebenarnya hal ini sudah jadi niatanku dan tertera di Birth Plan yang aku berikan ke suster Sarah karena ketika melahirkan Darrel, jalan-jalan keliling ruangan memang terbukti bisa mempercepat turunnya bayi ke jalan lahir. Bahkan dalam kasus Darrel, sampai kecepetan dan nyaris lahir di mobil yang mengantarku ke rumah sakit. Tapi entah kenapa, aku gak mood untuk jalan, maunya baringan saja sambil atur nafas dan mengajak ngobrol si jabang bayi agar dia lancar lahir ke dunia. “Jangan nyasar ya Dek Bayi…cari pintu bertanda “Exit”, nah meluncur deh ke situ dengan cepat.” Kira-kira begitu percakapan batinku dengan bayiku.

Suasana masih santai. Suster Sarah sedang berusaha memasukkan klep IV ke tangan kiriku. Kontraksinya? Tentu saja tambah asoy geboy…ha…ha. Durasi tiap kontraksi bertambah panjang, dan setelah satu durasi kontraksi yang rasanya berabad-abad (hiperbola), aku tiba-tiba merasa harus ngeden. Kejadiannya sangat cepat karena aku sudah langsung berpegangan ke pinggir tempat tidur, badanku melenting dan bicaraku sambil menggeram. Rasanya suakiiittttt banget dan badanku seperti secara otomatis ingin mengejan. “I think I need to push,” begitu kataku pada suster Sarah.

Suster Sarah terlihat kaget tapi berusaha tenang. Dia langsung memeriksa bukaanku. “You are fully dilated,” katanya dan dia segera angkat telepon untuk menghubungi rekan-rekannya yang lain. Rupanya bukaanku sudah sempurna dan bayi siap dilahirkan. Ruangan yang tadinya cuma terisi aku, suamiku dan suster Sarah langsung dimasuki oleh banyak orang. Ada dua suster yang siap di dekat tempat tidur bayi (tempat membersihkan bayi), ada yang datang mendorong meja kecil berisi perlengkapan (ditutupi kain jadi aku gak tahu apa aja isinya). Bahkan ada serombongan anak kedokteran yang ingin masuk untuk menonton. Tapi oleh suamiku dilarang karena ruangan sudah penuh. Kalau dutambah lagi, berasa ada konser dong!

Suster Sarah meminta bantuan suster lain untuk memasang infus di tanganku karena aku sudah bergerak-gerak kelojotan gak bisa diem. Ya iyalah…sakit banget gitu looo. masih untung aku gak jejeritan, cuma menggeram2 kayak srigala..ha…ha. Lalu suster Sarah juga mengenalkanku pada seorang dokter kandungan lain (bukan dokter Bishop) yang kebetulan sedang datang ke rumah sakit. Dokter cabutan jadinya yaaa. Dan dokter ini laki-laki. Dokter ini diberitahu bahwa aku memilih untuk melahirkan tanpa dikomando oleh dokter.

Alhasil, si dokter ini cuma berdiri di sampingku sambil berusaha mengajak aku berbincang-bincang di sela-sela ngeden. Jadi kalau dibayangkan lucu deh. Ada perempuan hamil yang sedang ngeden-ngeden kesakitan, sementara si dokter senyum-senyum sambil ngajak ngobrol, yang kira-kira begini isinya:

Dokter: “Wah, cuacanya cerah ya. Hari yang bagus untuk melahirkan.”

Aku: (lihat keluar jendela, memang cerah sih, langitnya biru) “Grhhhhhhh…..grhhhhhhhhh (ngeden).”

Dokter: “You’re doing great. Where are you from?”(pas ngeden udah selesai)

Aku:”Indonesia.  Ngrhhhhh….ghrrrrrrr.

Dokter: “I can speak a little Indonesian! Aku cinta padamu. That’s all I know.”

Aku: “Nghrrrrr….ghrrrrrrr.” (sambil mikir, kocak juga ni dokter)

Dokter: “It won’t be long now. ”

Tapi rasa sakit yang semakin tinggi intensitasnya membuat aku sempat merasa kepayahan dan susah mengambil nafas. Saat itulah yang kulihat adalah wajahnya suster Sarah yang masih dengan suara lembutnya berkata, “Don’t give up now. You’ve been doing great. Stay focus, keep breathing.” Aku langsung memaksa diri untuk ambil nafas di sela-sela proses mengejan.

Pas lagi seru-serunya ngeden, datang seorang pria setengah baya dengan nafas terengah-engah. Rambutnya gondrong dan dikuncir, pakai baju ruang operasi. yang warna hijau tosca itu. Ternyata itulah dokter Bishop. Semua orang di ruangan itu langsung lega menyambutnya. Dia langsung mengenakan sarung tangan dan memeriksa kondisiku. Dan pas dia lihat, ternyata bayiku sudah crowning, alias ujung kepalanya sudah nongol di pintu lahir.

Hal selanjutnya terjadi sangat cepat. Aku ngeden dengan sekuat tenaga, hingga terasa ada sesuatu yang keluar dari pintu lahir, dokter Bishop berseru senang, “Here we go. It’s a boy.” Tapi tidak terdengar suara tangisan sampai dengan beberapa saat kemudian. Dan bayi itu diletakkan di atas perutku sambil diusap-usap dengan handuk oleh para suster.

Yang kuingat matanya terbuka lebar dan menatap sekeliling seperti keheranan. Suamiku lalu membisikkan adzan dan iqamat ke telinga mungilnya. Alhamdulillah, kami berdua selamat. Bayi lelaki itu lahir pada pukul 7.05 pagi dengan berat 6 pon 11 ons, dan panjang 20 inci.

Proses persalinan belum berakhir karena kemudian plasentaku keluar. Dokter Bishop memeriksa dan memutuskan bahwa aku tidak perlu dijahit. Wah, ternyata benar dong ya bahwa melahirkan dengan ngeden yang berdasarkan komando sang ibu, bukan dokter, memang memperkecil kemungkinan episiotomi dan robek. Baru kali ini aku melahirkan tanpa episiotomi dan dijahit.

Setelah itu, aku masih harus terbaring lemas di tempat tidur sambil seorang suster (bukan suster Sarah) membantu membersihkan area bawah dan memeriksa kondisi rahim dengan meraba bagian perut. Aku sempat mengalami kedinginan sampai badan gemetar selama beberapa waktu setelah melahirkan. Selanjutnya, proses pemulihan dimulai yang aku jalani tanpa meminum obat penahan rasa sakit apapun.

Suamiku pulang ke rumah untuk menjemput anak-anak kira-kira pukul 9 pagi. Dia baru balik ke rumah sakit pukul 4 sore bersama dengan 2 anakku yang ingin melihat adik barunya.Tapi mereka hanya menengok sebentar saja dan selanjutnya aku hanya sendirian di rumah sakit. Gak ada yang nungguin…huaaa…mamaaa. Gak sampe nangis-nangis ding…hi…hi.

Meskipun sedih, tapi jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan mental untuk menjalani proses pasca melahirkan tanpa didampingi suamiku. Lebih baik dia menjaga dan mengurus anak-anak. Padahal bandanku rasanya masih ancorr byanget, pengennya makan juga disuapin aja deh. Tapi ya situasi memaksa kami untuk tetap tegar dan perkasa. Alhasil, aku pun bolak-balik “mengganggu” suster karena tiap kali ke kamar mandi harus minta bantuan mereka. Jangankan berjalan, untuk bergerak turun dari tempat tidur saja susaaaah banget karena seluruh badanku kaku dan sakit. Baru nyadar deh bahwa dua kali melahirkan sebelumnya aku pasti dikasih obat penahan sakit yang kuat banget (morfin mungkin?) karena dulu aku tak merasa sesulit ini untuk bergerak dan berjalan ke kamar mandi. Saking akunya risih sendiri harus bolak-balik manggil suster, akhirnya aku paksakan diri untuk bisa ke kamar mandi sendiri. Sebenarnya bahaya karena aku bisa jatuh karena memang masih kliyengan dan jalan masih kayak robot. Tapi alhamdulillah bisa dan gak kenapa-kenapa.

Aku menghabiskan satu malam menginap sendirian saja di rumah sakit. Sengaja aku tak meminta bayiku untuk room-in karena kondisiku yang masih belum pulih. Hanya jika dia harus minum susu (tiap 3 jam, atau jika dia haus minta minum) saja dia akan dibawa suster kekamarku dan akan diambil lagi untuk ditidurkan di ruang bayi jika aku sudah selesai menyusui.

Esok harinya, sekitar pukul 5 sore, aku sudah dibolehkan pulang ke rumah. Berdasarkan hasil observasi dokter kandungan dan dokter anak, baik kondisiku maupun bayi sudah siap untuk pulang. Dokter Bishop sempat berkomentar, “Jadi Anda cuma datang, langsung melahirkan, dan langsung pulang ya.” He…he..memang gak perlu pake lama-lama kali, dok. Oh ya, suster rumah sakit kan gantian ya bertugasnya, sistem shift gitu. Tiap kali ganti shift, pasti susternya bilang, “Oh, ibu ini yang melahirkannya cepet banget itu ya?” Ha…ha…ha…ternyata beritanya sudah menyebar di kalangan mereka.

Begitulah kisah tentang peristiwa persalinanku. Maaf panjang banget kayak kereta api..hi..hi. Ini nulisnya juga nyicil dan nyuri-nyuri waktu. Yang mau berbagi kisah persalinan juga, monggo, aku gak anti sama komen panjang kok. Semoga bermanfaat ya sharing kita di sini.

31 thoughts on “Persalinan Gak Pake Lama

  1. hihihi… saya pernah njenguk perawat yang lagi kesakitan karena diinduksi, sampe gak ngomong apa-apa langsung pergi.

    Kayaknya emang sakit banget melahirkan itu. 🙂

    • Padahal Teguh dokter dan sudah sering lihat berbagai “penderitaan” pasien ya? Memang sakiit banget, Guh. Tapi jika kita siap secara mental dan gak ada kemungkinan komplikasi, biasanya sakitnya tetap bisa diatasi kok. Aku juga diinduksi waktu melahirkan anak pertama.

      Eh kok nengoknya pas sebelum melahirkan sih, pas lagi proses persalinannya lagi ya?

      • itu habis visite, sebelum pulang, jadinya menyempatkan jenguk.. eh, malah gak jadi. hahaha… beda sih rasanya kalo orang yang kita kenal sama orang yang sama sekali kita kenal.

  2. Fihh… bacanya deg degan, serasa berada di sana mendampingimu Sum.

    Dirimu sangat tegar, tapi untung cuma sehari ya di rumah sakit.

    Waqaqaqaqa….emak koplak, bayinya suruh baca “exit” di dalam.

    Klep IV itu apa?

    Ruang bersalin itu kan ruang abis melahirkan tho? Aku nanyain tulisanmu yang ini:
    “Oh ya, ruang bersalin di sini bukan satu ruang yang bisa dipake rame2 oleh beberapa pasien, tapi kamar-kamar individual yang desainnya sama seperti kamar untuk menginap pasien. Jadi ketika masuk ke ruangan itu, secara psikologis gak ada rasa takut, karena kayak masuk kamar tidur saja.”

    Susternya ngomong “dilated” atau “dialated” Sum?

  3. Aku ada cerita lucu. Waktu istri saya hamil sekitar 6 bulan, si bayi yang merupakan anak pertama muter sehingga letak sungsang. (kepala di atas). Aku coba muterin gak berhasil. Akhirnya aku antepin aja, dengan perhitungan kalo mau lahir aku bawa ke rumah sakit pusat yang jaraknya 20 km tapi kalo lagi becek bisa ditempuh dalam 2 jam. Maklum di daerah.
    Begitu pada suatu subuh (pada kehamilan 8 bulan) ketuban pecah, aku panggil ambulans. Eh rupanya si supir ngantuk berat. Jadi aku suruh dia pulang dan aku supirin sendiri itu ambulans yang segede bus. Untung jalan gak becek. Jadi pas pukul 7 pagi aku udah hampir dekat rumah sakit yang ku tuju. Tau-taunya jalan ditutup karena polisi lagi apel. Aku bunyiin aja sirene, dan bubarlah polisi.
    Setiba di rumah sakit aku siapkan alat2 buat Sectio Caesaria, sementara istri saya ditungguin sama bidan. Gitu aku sudah siap di kamar operasi, bidan masuk dan mengatakan bahwa sang bayi (perempuan) sudah lahir. Rupanya itu anak tau diri juga. Bayangin kalo sampai 9 bulan nyokapnya pasti kudu dioperasi.
    Eh, aku malah bikin dongeng sendiri!
    Maap ya!

    • Unik banget pengalamannya, pak. Sampai nyetir ambulans sendiri segala..he..he. Berarti bisa dilahirkan normal/vaginal meskipun sungsang ya? Untungnya selamat ya, gak pake acara nyangkut2. Anak keduaku saat dilahirkan sempat nyangkut bahunya sampai harus episiotomi deh.

  4. salam kenal, wah bacanya sambil make acara deg2an nih,moga2 bs cepet jg*lg hamil29w anak pertama pula,blm ada pengalaman

    • Salam kenal juga, mbak (eh, enaknya panggil apa nih?) Selamat atas kehamilannya yaaaa. Semoga nanti proses melahirkannya lancar, cepat, dan bayi serta ibunya sehat, selamat, aaamiin. Banyak olahraga jalan pagi aja pas sudah masuk bulan terakhir. Supaya lebih pede, banyak juga baca2 artikel kehamilan. Salah satu situs yg bagus yg sampai sekarang sering aku jadikan acuan adalah http://www.babycenter.com/

    • Mbak Rosa, tenang saja, siapkan mental dari jauh2 hari. mengenai episiotomi dan jahitan, percayalah bahwa setelah melahirkan, sakitnya kedua hal itu gak ada apa-apanya. Pas melahirkan anak pertama dan kedua, aku dijahit. Yang pertama pakai obat bius lokal, jadi gak berasa. yang kedua gak pake obat bius, gak berasa juga…ha…ha. Mudah-mudahan kehamilan dan persalinannya lancar, ya mbak.

Leave a reply to teguh Cancel reply