Akhirnya, Kami Pulang

Sebenarnya berat sangat untuk menuliskan episode kehidupan kami yang satu ini. Saking beratnya, itu judul ditulis bulan Februari 2018 dan sudah, itu saja. Paragraf pertama dimulai baru hari ini, 19 September 2018. Entahlah akan selesai atau tidak sampai jadi satu postingan.

Ambil napas dulu. Dalaaaam sekali.

Kami akhirnya pulang, ya kembali ke Indonesia setelah hampir 11 tahun terdampar di sebuah kota kecil bernama Carbondale, IL. Ibarat pohon, kami pernah tercerabut dari tanah tempat persemaian, lalu ditanam di tanah asing dengan kondisi PH berbeda, mineral tanah berbeda, iklim berbeda. Lalu, setelah pohon itu mulai bisa beradaptasi, tumbuh, berbunga, berbuah, tiba-tiba dicabut lagi dan dipaksa kembali ke tanah lama yang sudah terasa asing. Ya begitulah rasanya.

Reversed culture shock, itulah yang kami alami saat pertama kembali, pada bulan Mei 2017, di awal Ramadhan. Hawa Indonesia mulai terasa sejak di bandara Narita, Jepang. Penumpang rute ke Jakarta kebanyakan warga Indonesia. Celoteh bahasa Indonesia di sana sini mulai terdengar. Wajah-wajah Kaukasia yang biasa kami lihat selama ini terganti dengan dominan wajah Asia. Di pesawat, ada penumpang setengah baya membuka Qur’an kecil menjelang maghrib tiba.

Kami mendarat di Soeta menjelang tengah malam, dan disambut udara malam yang terasa panas. Kakak ipar dan istrinya menjemput dan begitu bahagia melihat kami. Sang istri tak jemu2 memeluk anak-anak. Terakhir berjumpa, Imo masih berusia 4 tahun dan Darrel masih setahun, sedangkan Ghaazi masih jauh dari bayangan.

Kopor dan kardus kami dinaikkan ke truk bak terbuka, ditutupi terpal dan diikat tali. Kami naik di mobil mereka, yang kursi tengahnya dicopot demi memasang matras untuk cucu-cucu mereka. Ironisnya, kami membawa kursi khusus anak untuk dipasang di mobil di antara tumpukan kopor di truk sana. Dari begitu peduli soal keselamatan anak di dalam mobil, begitu mendarat, langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa di Indonesia, hal itu bukan hal utama.

Lalu bagaimana? Ya sudah, kami pasrah. Badan sudah remuk-redam, perasaan juga gak karuan, kami akhirnya naik ke mobil itu, duduk lesehan di mobil. Sepanjang jalan kupeluk erat Ghaazi yang seperti sudah biasa duduk lesehan begitu, tidak resah, tidak rewel. Lain halnya dengan kakaknya, Darrel yang mulai menekuk wajahnya. Belakangan kami tahu, bahwa ia cukup shocked dengan pelukan erat budhe yang tak pernah ditemuinya sebelumnya. Imo tampak terpukau, tapi masih bisa tersenyum.

Perjalanan menuju sebuah apartemen di Cinere, yang telah kami pesan sejak sebelum berangkat terasa surreal. Aku pandangi menara-menara cahaya yang kami lintasi. “We’re in the city!” seru Darrel. Sepintas, kami seperti di Chicago atau NYC, tapi begitu keluar jalan tol, lintasi jalan gerudukan, bersisian dengan motor-motor, langsung terasa, kami tak lagi di Amerika.

We’re finally home….or are we?

 

(to be continued)

 

 

2 thoughts on “Akhirnya, Kami Pulang

Leave a reply to penuhcinta26 Cancel reply